
BAITULLAH.CO.ID – Setiap tahun, perayaan Tahun Baru Masehi menjadi
momen yang dinanti-nantikan oleh banyak orang di seluruh dunia, termasuk umat Islam. Namun, banyak pertanyaan mengenai perayaan tahun baru masehi ini salah satunya “Apakah perayaan ini sesuai dengan ajaran Islam?”
Sebagian ulama menganggap perayaan tahun baru masehi sebagai tradisi non-Islam yang tidak memiliki dasar syariat. Mereka berpendapat bahwa ikut serta dalam perayaan ini bisa menjauhkan kita dari nilai-nilai keislaman. Di sisi lain, ada ulama yang melihat perayaan ini secara lebih kontekstual dan membolehkan selama tidak bertentangan dengan prinsip agama.
Masalahnya, banyak dari kita yang tidak memahami dasar hukum perayaan Tahun Baru ini. Beberapa orang bahkan terjebak dalam aktivitas yang kurang sesuai dengan ajaran islam seperti pesta porakerusuhan, dan hal-hal yang melalaikan ibadah. Kondisi ini bukan hanya berpotensi menghilangkan keberkahan, tetapi juga bisa menjadikan perayaan ini sebagai sumber dosa.
Lebih jauh lagi, asal-usul kalender Gregorian sebagai penanda Tahun Baru didasarkan pada tradisi Barat dan sejarah agama Nasrani. Hal ini menimbulkan dilema bagi sebagian umat Islam yang ingin menjaga identitas keagamaannya. Jadi, bagaimana sebenarnya Islam memandang hal ini?
Pandangan Islam Merayakan Tahun Baru Masehi
Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menjunjung prinsip syariat dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam tradisi dan perayaan. Berikut adalah beberapa pandangan ulama terkait hukum merayakan Tahun Baru Masehi:
1. Pendapat yang Membolehkan
Guru Besar Al-Azhar Asy-Syarif, Syekh Athiyyah Shaqr, berpendapat bahwa menikmati keindahan hidup seperti makan, minum, dan berkumpul dengan keluarga pada momen tertentu adalah hal yang mubah (boleh), asalkan tidak mengandung kemaksiatan. Sebagaimana disebutkan dalam fatwa:
"Tidak diragukan lagi bahwa menikmati keindahan hidup, seperti makan, minum, dan menjaga kebersihan, diperbolehkan selama sesuai dengan syariat, tidak mengandung kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan tidak bertentangan dengan akidah yang benar." (Fatawa Al-Azhar, Juz X, halaman 311)
2. Pendapat yang Mengharamkan
Ulama seperti Ibnu Taimiyyah dan Umar bin Khattab RA lebih tegas dalam menyikapi perayaan ini. Mereka melarang umat Islam untuk mengikuti syiar-syiar non-Muslim, terutama yang terkait dengan tradisi keagamaan mereka. Hadis berikut sering dijadikan rujukan:
“Janganlah kalian mengunjungi kaum Musyrikin di gereja-gereja mereka pada hari besar mereka, karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka.” (HR. Al-Baihaqi)
Dalam Islam, hukum merayakan Tahun Baru Masehi bersifat fleksibel dan tergantung pada bagaimana perayaan itu dilakukan. Selama tidak melibatkan perbuatan maksiat, menjaga prinsip syariat, dan dimaknai sebagai momen refleksi untuk memperbaiki diri, maka perayaan ini dapat dianggap sebagai adat (tradisi) yang netral.
Sebaliknya, jika perayaan ini dilakukan dengan cara yang melalaikan ibadah atau meniru kebiasaan yang bertentangan dengan Islam, maka hal itu tidak dibenarkan