Batal Nazar Karena Keinginan Belum Terkabul, Berdosa Nggak Sih? Ini Penjelasan Lengkapnya!
BAITULLAH.CO.ID – Dalam kehidupan sehari-hari, banyak dari kita yang memiliki harapan dan impian besar. Untuk mewujudkannya, selain berdoa, tak sedikit yang memilih untuk mengikat janji dengan Allah melalui nazar, berharap hal ini bisa membuat keinginannya lebih cepat terkabul. Namun, bagaimana jika keinginan yang kita sandarkan pada nazar itu ternyata tidak tercapai? Apakah kita tetap harus memenuhi nazar tersebut? Dan jika batal, apakah itu berarti kita berdosa? Berikut adalah penjelasan lengkap tentang hukum nazar dalam Islam, dilengkapi dengan ayat dan hadis yang terkait.
Baca Juga:
Perbedaan Hasil Mudzakarah Perhajian dan Ijtima Ulama MUI, PERSIS: Perlu Disinkronisasi
Nazar dalam Islam diartikan sebagai janji kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu sebagai bentuk ibadah kepada Allah, apabila suatu keinginan atau harapan tercapai. Misalnya, seseorang bernazar akan melakukan puasa selama tiga hari jika ia lolos ujian, atau akan bersedekah jika sembuh dari sakit. Nazar merupakan bentuk ibadah yang menjadikan sesuatu yang awalnya tidak wajib, menjadi wajib karena janji tersebut.
Terkait hukum melaksanakan nazar, Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hajj ayat 29:
ثُمَّ لْيَقْضُوْا تَفَثَهُمْ وَلْيُوْفُوْا نُذُوْرَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوْا بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ
Artinya: "Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran (yang ada di badan) mereka, menyempurnakan nazar-nazar mereka dan melakukan tawaf di Baitullah (Ka'bah)."
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang bernazar untuk taat kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya, dan barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat, maka janganlah ia melaksanakannya."
Hadis ini menunjukkan pentingnya melaksanakan nazar yang telah diucapkan, selama nazar tersebut berupa kebaikan dan bukan suatu kemaksiatan.
Namun, bagaimana jika keinginan yang diharapkan tidak terwujud? Apakah nazar tetap harus dilaksanakan atau bisa dibatalkan?
Membatalkan Nazar karena Keinginan Belum Terkabul
Dalam hal ini, Ustaz Ahmad Sarwat, Lc., dari Rumah Fiqih Indonesia menjelaskan bahwa nazar yang belum terealisasi karena harapan belum terkabul bisa saja dibatalkan selama belum ada tanda-tanda keinginan itu terwujud. Hal ini juga sesuai dengan pandangan para ulama yang menjelaskan bahwa nazar tidak boleh menjadi semacam "transaksi" dengan Allah, karena ada kesan kurang baik, yaitu baru mau beribadah jika keinginannya terpenuhi.
Buya Yahya dalam kajiannya juga membedakan dua jenis nazar:
- Nazar yang tidak digantungkan pada syarat, misalnya seseorang berkata, “Aku bernazar puasa tiga hari.” Dalam hal ini, nazar wajib ditunaikan tanpa memandang apakah ada pencapaian tertentu.
- Nazar yang digantungkan pada syarat, seperti “Aku bernazar sedekah jika mendapat pekerjaan.” Jika keinginan tersebut tidak tercapai, maka nazar tidak perlu dipenuhi.
Apabila seseorang membatalkan nazar yang sudah diucapkan, Islam menetapkan adanya kafarat atau denda, sesuai dengan hadis:
"Denda nazar adalah denda sumpah." (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ahmad)
Kafarat yang dapat dibayarkan adalah:
Nazar memang memiliki tempat dalam Islam sebagai bentuk pengabdian diri, tetapi niat beribadah tidak boleh tergantung pada syarat-syarat tertentu. Karena itu, jika ingin beribadah atau bersedekah, niatkanlah dengan ikhlas kepada Allah, tanpa syarat tertentu, agar amalan tersebut diterima. Nazar juga sebaiknya diucapkan dengan hati-hati, agar tidak menjadi beban. Jika harapan tidak tercapai, dan nazar itu batal, pastikan untuk membayar kafarat sebagai bentuk tanggung jawab atas janji yang telah diucapkan.