“Untuk apa benda-benda itu, wahai Muthi’ah?” Tanya Fatimah.
Mendapat pertanyaan itu, seketika wajah Muthi’ah merah merona dan balik bertanya, “Untuk apa engkau tanyakan itu, wahai Fatimah? Aku jadi malu.”
“Katakanlah padaku, Muthi’ah.” Desak Fatimah kian penasaran “Mungkin benda-benda itulah yang membuat ayahku mengabarkan padaku tentang keutamanmu.”
Lalu Muthi’ah bercerita, “Suamiku setiap harinya bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Karena itu, aku sangat menyayangi dan menghormatinya. Begitu ia pulang dari kerja, maka aku akan cepat-cepat menyambutnya dan mengelap keringatnta dengan handuk ini. Karena dengan keringat itulah dia mencari nafkah untuk menghidupi aku dan anak-anak kami.”
Fatimah kagum dengan aklak Muthi’a. Inilah pesona yang hanya mampu dipahami oleh seorang muslim sejati yang mengukur segala tindakan dengan skala iman. ”Lalu, cambuk itu untuk apa?’ Tanya Fatimah kian penasaran.
Muthi’ah melanjutkan, “Ketika suamiku aku sediakan makan dan ketika habis makan, aku kasih camuk sambal kukatakan padanya, ‘Wahai suamiku, kalua makanan ini tidak enak, aku rela dan ridha, engkau cambuk diriku agar jadi pelajaran bagiku biar besok bisa masak lebih enak lagi.’”
Fatimah makin kagum seraya bertanya pada, “Lalu, apakah suamimu sering mencambukmu.”
“Tidak pernah, yang selalu terjadi adalah menarik tubuhku dan memelukku penuh kasih sayang,” ujar Muthi’ah agak malu. Fatimah terperangah mendengarnya, untuk terkahir, Fatimah bertanya,”Kalau gunting itu, untuk apa wahai Muthi’ah?”
Dijawab oleh Muthi’ah, “Sebelum aku tidur, aku kasih gunting kepada suamiku dan aku berkata,”Wahai suamiku, apabila dari tadi pagi sampe sekarang ada kata-kataku yang menyakiti perasaanmu, aku rela dan rihda engkau potong lidahku.”
Baca Juga: Kisah Azazil, Dari Surga ke Dunia sebagai Raja Iblis
Kini, Fatimah al-Zahra paham, mengapa Muthi’ah mempunyai kedudukan yang tinggi hingga sang Ayah menyuruhnya datang ke rumahnya. Pesona akhlaknya sungguh luar biasa hingga sang suami ridha kepadanya.